Tumakninah merupakan salah satu hal penting yang sebaiknya dilakukan ketika mendirikan shalat, terutama shalat wajib. Tumakninah menurut pendapat sebagian ulama juga ditempatkan sebagai salah satu rukun shalat, sehingga perkara ini menjadi syarat sahnya ibadah shalat1.
Secara bahasa, tumakninah berarti tenang atau diam sejenak. Secara istilah, tumakninah dimaknai dengan diam setelah gerakan atau diam di antara dua gerakan sehingga memisahkan. Misalnya, ketika bangkit dari rukuk dan turun dari rukuk hendak bersujud. Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk mendirikan shalat dengan tumakninah, terutama pada saat rukuk, iktidal, sujud, dan duduk di antara dua sujud1.
Tidak Tumakninah = Mencuri Dalam Shalat
Di antara dalil yang populer tentang tumakninah adalah hadist “mencuri dalam shalat”, sebagaimana disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Nabi SAW bersabda,
أَسْوَأُ النَّاسِ سَرِقَةً الَّذِي يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُ مِنْ صَلاَتِهِ؟ قَالَ: لاَ يُتِمُّ رُكُوْعُهَا وَلاَ سُجُوْدُهَا.
“Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari shalatnya”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari shalat?”. Rasulullah berkata, “Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya” (HR Ahmad no 11532, dishahihkan oleh al Albani dalam Shahihul Jami’ 986)
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap perbuatan mencuri dalam shalat ini lebih buruk dan lebih parah daripada mencuri harta.
Tumakninah ketika mengerjakan shalat adalah bagian dari rukun shalat, shalat tidak sah kalau tidak tumakninah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada orang yang shalatnya salah,
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا
“Jika Anda hendak mengerjakan shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat al Quran yang mudah bagi Anda. Kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan tumakninah, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud dengan tumakninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk sampai benar-benar duduk dengan tumakninah, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud, Kemudian lakukan seperti itu pada seluruh shalatmu” (HR Bukhari 757 dan Muslim 397 dari sahabat Abu Hurairah)
Para ulama mengambil kesimpulan dari hadits ini bahwa orang yang rukuk dan sujud namun tulangnya belum lurus, maka shalatnya tidak sah dan dia wajib mengulangnya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkata kepada orang yang tata cara shalatnya salah ini, “Ulangi shalatmu, sejatinya Anda belumlah shalat”.
Hadits Al-Musii’ fii Shalatihi
Hadis Al-Musi’ fi Shalatihi berisi tentang kisah seorang yang belum baik tatacara shalatnya, kemudian di respon oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dengan pengarahan kepada orang tersebut. Hadis ini termaktub di dalam riwayat An-Nasai dari sahabat Rifa’ah bin Raafi’ radhiyallahu’anhu, ia berkata,
كُنْتُ معَ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا ِفي المَسْجِدِ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَِّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ كَانَ النَِّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْمُقُهُ فِي صَلاَتِهِ فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ ثُمَّ قاَلَ لَهُ: اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ. فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَِّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ ثُمَّ قَالَ: اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ. حَتَّى كَانَ عِنْدَ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ فَقَالَ: وَالَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ لَقَدْ جَهَدْتُ وَحَرَصْتُ فَأَرَنِي وَعَلِّمْنِي. قَالَ: إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تُصَلِّيَ فَتَوَضَّأ فَأَحْسَنَ وُضُوْءَكَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ قَاعِدًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ فَإِذَا أَتْمَمْتَ صَلاَتَكَ عَلَى هَذَا فَقَدْ تَمَّتْ وَمَا انْتَقَصْتَ ِمنْ هَذَا فَإنَّمَا تَنْتَقِصُهُ مِنْ صَلاَتِكَ.
“Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk-duduk di masjid, maka ada seseorang yang masuk dan mengerjakan shalat dua rakaat, kemudian ia datang dan mengucapkan salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerhatikan terus shalatnya, kemudian beliau menjawab salam.
Lantas beliau berkata, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau belum shalat.” Lantas ia kembali mengulangi shalat, kemudian ia datang dan mengucapkan salam kembali kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salamnya, kemudian beliau bersabda, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau belum shalat.” Sampai seperti itu terulang hingga ketiga atau keempat kalinya.
Orang yang jelek shalatnya pun mengatakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi yang menurunkan kitab kepadamu, aku sudah sungguh-sungguh dan semangat dalam menjalankan shalat, engkau sudah melihatku, maka sudahlah ajarilah aku.”
Beliau pun bersabda, “Jika engkau ingin menjalankan shalat, berwudhulah dan perbagus wudhumu, lalu hadaplah kiblat, kemudian bertakbirlah, lalu bacalah surah. Kemudian rukuklah sampai thumakninah ketika rukuk. Kemudian bangkitlah dari rukuk sampai lurus berdiri. Kemudian sujudlah sampai thumakninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dari sujud sampai thumakninah ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali sampai thumakninah ketika sujud, lalu bangkitlah. Jika engkau telah menyempurnakan shalatmu seperti ini, maka sudah sempurna shalatmu. Apa saja yang engkau kurang dari ini, maka berarti telah kurang dalam shalatmu.” (HR. An-Nasai, no. 1052. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Tidak Tumakninah = Tidak Sah Shalat
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengatakan:
من صلاح الصلاة أن تطمئن في القيام والقعود والركوع والسجود فمن نقر صلاته ولم يطمئن فيها فلا صلاة له ولو صلى مئة مرة حتى يطمئن فيها.
Di antara keabsahan shalat ialah tumakninah (tenang) dalam posisi berdiri, duduk, rukuk, maupun sujud. Dengan demikian, barangsiapa terburu-buru dalam shalatnya dan tidak tumakninah, maka shalatnya tidak sah, meskipun ia shalat seratus kali, hingga ia shalat dengan tumakninah.
Imam Terlalu Cepat = Tidak Tumakninah
Jika kita shalat sendirian, ukuran tumakninah adalah ukuran kita sendiri. Tetapi jika kita shalat berjamaah, tumakninah ditentukan oleh imam. Jika imam terlalu cepat, maka makmum akan merasa tidak tumakninah.
Hal ini sangat disayangkan masih banyak orang yang menjadi imam shalat namun tidak memperhatikan keadaan makmumnya, padahal di antara makmum itu ada yang sudah tua sehingga sulit mengikuti imam yang cepat, ada yang kurang sehat, dan ada yang menghayati bacaan shingga lambat membacanya. Alhasil, ada makmum yang tidak sempat membaca atau menyelesaikan surat Al-Fatihah karena imam sangat cepat rukuknya. Ada yang tidak sempat membaca tasbih ketika rukuk dan sujud karena imam sangat cepat gerakannya, dan sebagainya.
Memang menjadi dilema di dalam shalat berjamaah, di mana ada jamaah yang lebih suka cepat, dan ada pula jamaah yang tidak bisa atau kurang menikmati shalatnya jika imam terlalu cepat. Dalam hal ini imam harus mengambil yang di tengah-tengah, tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu lama.
Di antara mereka yang ingin cepat -misalnya- karena terburu-buru hendak bepergian atau ada pekerjaan yang harus segera dilakukan. Untuk mereka ini memang harus menyadari bahwa shalat berjamaah tidak bisa dilakukan jika terburu-buru.
Di antara mereka yang lebih suka lama dalam mengerjakan shalat, juga harus menyadari bahwa tidak semua jamaah “tahan” shalat yang lama, mungkin karena tidak kuat berdiri lama, rukuk dan sujud yang lama, atau pikiran menjadi ke mana-mana.
Oleh karena itu, imam yang bijaksana dan faham ilmu shalat akan mengambil yang di tengah-tengah, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama. Ukurannya tentu “kelaziman”. Kita sudah pernah mengikuti imam yang cepat dan imam yang lama, maka ambil yang di tengah-tengahnya. Ukuran ini tentu relatif dan subyektif, namun bukan tidak mungkin “mendekati” yang seharusnya. Bacalah ayat dengan tartil, tidak terlalu cepat namun tidak juga dilambat-lambatkan. Bacalah tasbih yang “umum” dalam jumlah yang kebanyakan orang melakukannya, maka in syaa Allah shalat berjamaah menjadi tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu lama, dan semua rukun dapat dilakukan secara tumakninah.