Naik Bemo Gak Mbayar: Petualangan Duo Mahasiswa Healing

By. Agus Yayak

Suatu hari yang cerah (atau mendung, siapa yang ingat juga?), saya dan sahabat seperjuangan kuliah saya—Hari Windaru—memutuskan untuk healing tipis-tipis alias jalan-jalan. Hari ini spesial, karena cuma kita berdua yang berangkat. Biasanya kami berempat: saya (Mgt, sang narator penuh pesona), Hari Windaru (anak Ak yang selalu punya ide unik), Juniani

Wulandari (juga Ak, tapi lebih kalem), dan Dwikora (anak IESP, paling sering jadi penengah kalau kita berdebat mau makan di mana). Kami ini ibarat *Power Rangers* versi ngekos.

Kebetulan kost saya dan Hari tetanggaan. Jadi kalau ada apa-apa, tinggal teriak dari jendela.

Hari itu kami niat mau ke *Radio KDS* di Jalan Raya Langsep—radio hits sejuta umat waktu itu. Pokoknya kalau belum dengerin KDS, berarti belum eksis. Karena zaman itu belum ada ojek online, apalagi Grab, dan saya pun belum punya motor, kami pun naik kendaraan sejuta umat: bemo roda tiga. Yang tahu, tahu. Yang belum tahu… ya berarti belum pernah hidup di era keemasan.

Kami naik dari Dinoyo, duduk manis di bangku belakang bareng penumpang lain. Suasana adem ayem, bemonya ngebass: tung… teruntung… tung… kayak musik pengantar tidur mahasiswa kelelahan.

Tapi semua berubah ketika… kami sampai di Mergosono.

Tiba-tiba Hari nyolek saya dengan ekspresi kaget campur bingung, “Lho, iki dudu jurusane rono!”

Saya pun refleks bengong, “Lhah, iya, Har! Awak dewe salah naik bemo! Ini bemo nyasar!”

Panik tapi tetap santai (karena mahasiswa harus irit tenaga), kami berunding kilat. Solusinya: turun.

Hari duduk di depan, langsung ngasih kode ke sopir buat berhenti. Saya yang duduk di belakang masih termenung, belum siap menghadapi kenyataan pahit berikutnya: Bayar ongkos.

Tapi lho lho lho… Hari langsung turun gitu aja. Kayak ninja. Tanpa sepatah kata. Tanpa gerakan dompet. Saya yang masih di dalam bemo langsung deg-degan. “Lah, iki Har kok mudhun gak mbayar? Terus aku piye? Mosok aku doang yang bayar?” pikirku.

Akhirnya saya maju ke sopir, sok sopan dan lirih, “Pak… maaf… kita salah jurusan…”

Sopirnya cuma ngelirik. Antara bingung, kasihan, atau sudah pasrah menghadapi kelakuan mahasiswa. Saya langsung turun nyusul Hari, jalan cepat tapi tetap bergaya. Sopirnya masih ngeliatin kami dari kaca spion. Tapi tak ada kata. Tak ada teriakan. Hanya tatapan penuh arti. Dan begitulah… kami pun kabur dengan gaya, tanpa membayar ongkos. Seperti dua agen rahasia yang salah misi tapi tetap percaya diri. Hari itu kami belajar satu hal: kalau salah naik, jangan panik. Yang penting percaya diri.


👉 Kembali ke Daftar Cerita Kocak


[NOTE: Klik ikon panah utk ke atas | Klik nama situs utk ke beranda | Klik MENU utk menampilkan artikel | Klik ikon di bawah ini utk berbagi]