Artikel ini merupakan tanggapan terhadap tulisan yang beredar di medsos tentang teori kompleksitas ekonomi Hausmann terhadap kondisi perekonomian Indonesia (anda perlu membaca tulisan tersebut terlebih dahulu di sini: Indonesia dan Teori Hausmann).
Teori Kompleksitas Ekonomi yang dikembangkan oleh Ricardo Hausmann dan kolega-koleganya, seperti César Hidalgo, pada intinya menjelaskan bahwa kemakmuran suatu negara sangat ditentukan oleh seberapa kompleks dan beragam produk yang mampu diproduksinya.
Inti Teori Kompleksitas Ekonomi Hausmann
- Pengetahuan dan Kemampuan Produktif: Teori ini menekankan bahwa kekayaan suatu negara bukan hanya soal memiliki sumber daya alam yang melimpah, tetapi lebih pada pengetahuan (know-how) dan kemampuan kolektif masyarakatnya untuk menghasilkan produk yang kompleks dan beragam. Semakin banyak jenis pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki suatu negara, semakin besar potensinya untuk menghasilkan produk-produk baru yang lebih canggih.
- Ruang Produk (Product Space): Hausmann dan Hidalgo memperkenalkan konsep “Ruang Produk,” sebuah jaringan di mana setiap “pohon” adalah produk dan “monyet” adalah perusahaan. Pohon-pohon yang berdekatan dalam ruang ini adalah produk-produk yang membutuhkan kemampuan serupa untuk diproduksi. Negara-negara yang mampu “melompat” dari produk yang sederhana (misalnya, komoditas mentah) ke produk yang lebih kompleks (misalnya, produk manufaktur berteknologi tinggi) akan lebih makmur.
- Indeks Kompleksitas Ekonomi (ECI) dan Indeks Kompleksitas Produk (PCI):
- ECI mengukur tingkat kompleksitas ekonomi suatu negara berdasarkan keragaman dan keunikan produk yang diekspornya. Negara dengan ECI tinggi cenderung mengekspor produk yang hanya bisa dibuat oleh sedikit negara lain (unik) dan membutuhkan banyak “know-how” (kompleks).
- PCI mengukur seberapa kompleks suatu produk. Produk dengan PCI tinggi biasanya merupakan hasil dari rantai produksi yang panjang, teknologi canggih, dan berbagai jenis keahlian.
- Diversifikasi dan Peningkatan Nilai Tambah: Untuk menjadi makmur, suatu negara harus bergeser dari produksi komoditas mentah (yang mudah ditiru dan memiliki nilai tambah rendah) menuju produk-produk yang lebih bervariasi, kompleks, dan memiliki nilai tambah tinggi. Ini berarti membangun kapabilitas dan keahlian baru.
Keterkaitan dengan Ekonomi Indonesia yang Terseok-seok
Ekonomi Indonesia seringkali “terseok-seok” atau belum mencapai potensi penuhnya, dan teori kompleksitas ekonomi Hausmann memberikan beberapa penjelasan kunci:
- Ketergantungan pada Komoditas: Indonesia masih sangat mengandalkan ekspor komoditas mentah seperti minyak sawit, batu bara, dan karet. Produk-produk ini memiliki kompleksitas rendah (nilai PCI rendah) dan mudah dibuat oleh banyak negara lain, sehingga rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global. Ketika harga komoditas jatuh, ekonomi Indonesia ikut “terseok-seok”.
- Rendahnya Kompleksitas Produk Ekspor: Menurut data yang sering dikutip Hausmann, peringkat Indeks Kompleksitas Ekonomi (ECI) Indonesia masih relatif rendah (misalnya, peringkat 84 dunia dengan skor negatif). Ini menunjukkan bahwa Indonesia belum banyak bergerak ke produk-produk yang lebih kompleks dan beragam.
- Kesenjangan Pengetahuan dan Kapabilitas: Indonesia masih memiliki kesenjangan besar dalam kemampuan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk memproduksi barang manufaktur, teknologi, dan inovasi yang kompleks. Meskipun ada inisiatif seperti hilirisasi, tantangannya adalah membangun “know-how” yang mendalam agar produk hilirisasi tersebut benar-benar memiliki nilai tambah dan tidak sekadar mengubah bentuk fisik komoditas.
- Terjebak dalam “Middle Income Trap”: Ketergantungan pada komoditas dan rendahnya kompleksitas ekonomi membuat Indonesia rentan terjebak dalam jebakan pendapatan menengah (middle income trap). Negara sulit menjadi negara maju jika tidak mampu bertransformasi dari ekonomi berbasis sumber daya ke ekonomi berbasis inovasi dan pengetahuan.
- Perlunya Diversifikasi Industri: Untuk keluar dari kondisi terseok-seok, Indonesia perlu:
- Meningkatkan diversifikasi produk ekspor ke arah yang lebih kompleks.
- Membangun kapasitas manufaktur dan inovasi yang kuat.
- Investasi dalam pendidikan dan riset untuk meningkatkan “know-how” dan keahlian.
- Menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan industri bernilai tambah tinggi, termasuk infrastruktur, kebijakan yang stabil, dan akses ke teknologi.
Singkatnya, teori Hausmann menyiratkan bahwa masalah utama ekonomi Indonesia bukan hanya soal pertumbuhan angka, tetapi lebih fundamental pada kurangnya kedalaman dan keragaman kemampuan produktif yang dimiliki untuk menghasilkan produk-produk yang lebih canggih dan bernilai tinggi di pasar global. Ini adalah akar masalah mengapa pertumbuhan ekonomi seringkali terasa tidak berkelanjutan atau “terseok-seok”.
Lanjut baca sambungannya di sini: Mengatasi kondisi ekonomi indonesia yang “terseok-seok”