Ngunduh Wohing Pakarti,
Becik Ketitik Olo Ketoro,
Mulutmu Harimaumu.
Ungkapan atau peribahasa (Jawa: paribasan) di atas merupakan nasehat, peringatan, sekaligus sebagai hiburan. Lho, kok bisa? Mari, saya jelaskan.
Ngunduh Wohing Pakarti
Artinya: “Memetik Buah dari Perbuatan”. Setiap perbuatan (baik atau buruk) yang kita lakukan akan menghasilkan “buah” atau konsekuensi yang setimpal di kemudian hari.
- Ngunduh: Memetik (buah)
- Wohing: Buah dari (bentuk posesif dari ‘woh’ yang artinya buah)
- Pakarti: Perbuatan, tingkah laku, perangai.
Becik Ketitik Olo Ketoro
Artinya: “Kebaikan (akan) kelihatan, Kejahatan (akan) ketahuan”. Pada akhirnya, sifat dan perbuatan asli seseorang, apakah itu baik (becik) atau jahat (olo/ala), akan terbongkar dan diketahui oleh orang lain. Kebenaran tidak bisa disembunyikan selamanya, atau kebohongan tidak akan bertahan selamanya.
- Becik: Baik
- Ketitik: Terlihat, nampak (dari kata dasar ‘titik’ yang berarti melihat/memperhatikan)
- Olo: Buruk, jahat (bentuk kasar dari ‘ala’)
- Ketoro: Ketahuan, terbongkar (dari kata dasar ‘toro’ yang berarti tahu/mengetahui)
Mulutmu Harimaumu
Maknanya adalah: perkataan yang tidak dijaga (seperti fitnah, hinaan, gosip, atau ucapan sembrono) dapat berbalik membahayakan dan menghancurkan diri sendiri, layaknya harimau yang menerkam.
Dalam Bahasa Jawa, peribahasa yang maknanya sangat mirip dan asli dari Jawa adalah “Caturmu, gajahmu” yang artinya “Ucapanmu (adalah) gajahmu”. Gajah di sini melambangkan sesuatu yang besar dan berbahaya yang suatu saat bisa menginjak-injak pemiliknya sendiri. Ada juga versi lain seperti “Kowe mangan oyod, godhong ditaleni” (Kamu makan akar, daunnya diikat) yang berarti perkataanmu bisa menjeratmu sendiri.
Nasihat, Peringatan, Sekaligus Hiburan
Peribahasa di atas dapat berlaku sebagai:
- Nasihat: untuk mendorong seseorang selalu berbuat baik karena pada waktunya akan diakui, dan untuk tidak berbuat jahat karena pasti akan ketahuan.
- Peringatan: bagi orang yang berbuat jahat dan menyembunyikannya.
- Penghiburan: bagi orang yang merasa difitnah atau dizalimi, bahwa suatu saat nanti kebenaran akan terungkap.
Kesimpulan
Penggunaan peribahasa di atas dapat mengenai siapa saja, karena manusia tidak ada yang sempurna. Mengatakannya untuk orang lain, bisa mengenai diri sendiri, layaknya bumerang. Oleh karena itu, kita perlu hati-hati dan bijaksana mengatakannya kepada orang lain, karena jika tidak benar, akan berbalik mengenai diri sendiri.
Jangan sok suci, jangan sok benar!
hehe, semoga bermanfaat!